Menikahkan Mahasiswa

Oleh :

Ambo Sakka, S.KM.,M.A.R.S

(Dosen FKM UHO)

Perilaku hubungan seksual di kalangan mahasiswa semakin mengkhawatirkan terutama karena hubungan itu dilakukan diluar ikatan pernikahan yang sah. Masih teringat publikasi  dari Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) beberapa waktu yang lalu  dari sebuah penelitian yang melibatkan 1.660 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta menemukan bahwa 97.5% responden mengaku telah melakukan perilaku seksual di luar nikah. Sekira 10 tahun sebelumnya, LSM Sahara Indonesia menemukan bahwa 44.8% dari 1.000 responden mahasiswi Kota Bandung sudah melakukan hubungan intim di luar nikah.
Dampak yang paling jelas diidentifikasi dari fenomena ini adalah munculnya kasus-kasus heboh akibat dari kisah hubungan bebas mahasiswa dan mahasiswi di pemondokan atau asrama di sekitar kampus. Beberapa waktu lalu, kawasan Kampus Hijau Bumi Tridharma Universitas Halu Oleo Anduonohu dihebohkan dengan penemuan (mayat) bayi dibalik tembok belakang sebuah pondokan mahasiswi yang terletak di Kelurahan Lalolara Kecamatan Kambu. Tepat di depan kampus kebanggaan masyarakat Sulawesi Tenggara ini. Ternyata mayat bayi itu adalah bayi salah satu penghuni pondokan itu.Masih di Kota Kendari, beberapa waktu sebelumnya, ditemukan mayat seorang perempuan yang ternyata mahasiswi salah satu sekolah tinggi kesehatan di Kota Kendari, yang setelah diusut ternyata merupakan korban pembunuhan oleh pacarnya sendiri. Tragisnya, wanita malang itu sedang mengandung bayi buah hubungan haram mereka. Ini adalah beberapa kasus yang terungkap. Hubungan yang tersembunyi tentu jauh lebih banyak lagi.
Kota Kendari setiap tahun kedatangan ribuan pemuda dan pemudi perantau dari daerah sekitar di Sulawesi Tenggara dan luar Sulawesi Tenggara. Kebanyakan mereka adalah perempuan yang datang untuk melanjutkan studi. Sebagian mereka adalah para perempuan lugu, keluguan ini yang mengancam mereka. Shock Culture akibat pengaruh lingkungan bisa berdampak negatif bagi mereka. Jauhnya jarak dengan orang tua mengurangi pengawasan yang bisa mencegah mereka berbuat bodoh. Akibatnya sebagian para perantau itu gagal, mereka terlindas oleh kejamnya gejolak dinamika kehidupan kota. Faktor utamanya berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan.
Menikahkan Mahasiswa adalah solusi bagi orang tua
Tidak perlu diulang lagi tentang hukum hubungan seksual di luar nikah. Semua norma dalam tatanan kehidupan normal tidak menerima fenomena ini, dengan alasan apapun. Pemenuhan kebutuhan biologis ditambah passion lingkungan dan dukungan situasi dan kondisi yang jauh dari pengawasan orang tua menjadikan para mahasiswa dan mahasiswi gampang terjatuh pada bujuk rayu syahwat dan syaithan. Padahal mereka adalah anak kesayangan dan kebanggaan ibu-bapak di kampung halaman. Alih-alih membawa kebanggaan dan kebahagiaan.
Maka menawarkan untuk menikahkan anak saat kuliah sebaiknya mulai difikirkan oleh orang tua untuk mencegah mudharat. Mereka adalah darah daging yang menjadi tanggungjawab ibu dan bapak. Sebagaimana mereka bisa membantu kita masuk syurga, pun mereka bisa menghantar kita masuk neraka.
Tentu ide ini punya banyak tantangan. Mereka kan masih muda? Bagaimana nanti dengan kuliahnya jika mahasiswa harus bekerja menghidupi mahasiswi yang jadi istrinya? Bagaimana nanti kuliahnya jika mereka harus sibuk mengurus anaknya? Bisa-bisa mereka putus kuliah, dan seterusnya dan seterusnya. Bapak ibu sekalian, bukankah ganjaran berbanding lurus dengan beratnya upaya?
Agama Islam mengajarkan bahwa menikah adalah bagian dari ibadah kepada Pencipta. Maka di dalamnya sarat dengan kebaikan dimana keberkahannya sekaligus akan menolak semua dampak negatif yang mungkin muncul. Islam juga mengajarkan tentang tanggungjawab kepada anak, terutama menafkahi anak. Dalam agama Islam seorang Bapak wajib menikahkan anaknya yang butuh menikah. Jika si anak belum memiliki pekerjaan sebagai ma’isyah (penghasilan) bagi kehidupan keluarganya maka kedua orang tua tetap wajib menyantuninya.
Dengan menikah, dua keluarga dipersatukan. Dengan demikian sumber pembiayaan sebagai living cost-nya menjadi dua yakni dari orang tua mahasiswa dan dari orang tua mahasiswi. Mari kita simulasikan secara sederhana. Pernikahan akan menghemat biaya kontrakan jika si anak harus nge-kost. Tidak perlu menyewa dua kamar lagi karena satu kamar cukup untuk mereka berdua. Bahkan satu ranjang pun cukup dengan satu rice coocker, dispenser, dan kompor gas. Mereka bisa menghemat sampai dengan setengah dari pengeluarannya.
Lebih dari itu, mereka akan menjaga satu sama lain, lahir dan batin. Tidak perlu lagi ada kekhawatiran keselamatan putri tercinta yang menjadi mahasiswi karena sudah ada mahasiswa yang bertanggungjawab sebagai menantu.
Bagaimana dengan anak mereka? Ini urusan BKKBN. Saat ini, jaman memberi orang pilihan untuk punya anak atau tidak, sekarang atau nanti. Jika dianggap mereka masih belum mampu mengurus anak karena alasan masih kuliah, maka  silahkan konsultasikan kepada bidan anda di puskesmas untuk pelayanan alat kontrasepsi yang sesuai. Agama membolehkan penggunaan alat kontrasepsi untuk kepentingan pengaturan kelahiran selama tidak membatasinya secara permanen.
Bagaimana degan pekerjaannya nanti selepas kuliah? Pekerjaan itu hanyalah wasilah (jalan) rezeki manusia. Sementara rezeki setiap makhluk ada yang mengaturnya. Maka berserah diri kepada Allah bisa membantu menenangkan kekhawatiran ini sembari mendoakan kebaikan bagi mereka. Bukankah doa orang tua mustajab? Lagipula, keberkahan pernikahan akan membangun mental dan tanggungjawab mereka untuk segera berusaha lepas dari beban orang tua. Kita harus percaya itu.
Menikah saat kuliah adalah tantangan bagi mahasiswa
Pernikahan yang dimaksud disini bukanlah pernikahan yang terpaksa menikah karena telah terjadi ‘kecelakaan’ sebelumnya. Pernikahan adalah tentang tanggungjawab. Maka kemampuan menikah diukur pada kemampuan untuk memikul tanggungjawab. Jika mahasiswa telah mampu untuk itu, maka menikahlah, jika belum mampu maka berpuasalah. Termasuk puasa adalah tidak pacaran, karena pacaran bisa menghantarkan anda semakin dekat kepada perzinahan.
Silahkan takar kadar kemampuan anda untuk menikah. Kemudian sampaikan dengan cara terbaik keinginan itu kepada orang tua tercinta. Yakinkan mereka bahwa anda bisa, dan pastikan mereka ridha dan restu. Itu modal dasarnya. Selebihnya, serahkan kepada Sang Pengatur urusan.
Mahasiswa yang bertanggungjawab tentu tahu diri bahwa dia masih belajar dan butuh bimbingan. Maka mintalah bimbingan kepada orang-orang yang anda percaya di sekitar anda, termasuk kepada dosen. Dengan menikah saat kuliah berarti mahasiswa telah memilih hidup dengan tantangan ekstra, dari dalam dan dari luar. Bimbingan spiritual barangkali sangat dibutuhkan dalam beberapa situasi dan kondisi, maka bergaullah dengan ustadz dan orang- orang baik yang bisa membantu menenangkan jiwa dan fikiran.
This is not a mission impossible
Secara pribadi penulis juga menikah di usia muda. Sebagai seorang dosen, penulis tahu beberapa cerita mahasiswa dan mahasiswi yang berhasil dengan program menikah saat kuliah. Tidak semua ceritanya indah karena kehidupan itu perlu dinamika. Sebagaimana keindahan pelangi karena warna warninya. Maka hidup sebagai mahasiswa yang telah menikah memiliki dinamikanya sendiri. Ini bukan tentang dinamikanya, tapi ini tentang bagaimana melalui dinamika itu. Karena beratnya dinamika hari ini akan menjadi masa lalu esok hari. Apapun itu satu yang pasti, dia bukanlah sebuah misi  yang mustahil. Berani terima tantangan ini?
Pernah dimuat pada Rubrik Opini Kendari Pos pada Bulan Oktober 2017 dengan editan dari redaksi.